![]() |
Awal Mulai Ngaji (Dokpri) |
Selesa,
6 Maret 2017 saya memulai untuk belajar Fasholatan di Masjid Al-Hikmah
sebagaimana sudah terencana lama bersama angggota Komunitas Pringamba Cerdas. Mereka
adalah Faiz, Kholis, Bagas, Abel, Eka dan Eva. Adapun targetnya adalah anak-anak
SD dan lulusan SMP atau SMA.
Pun
bukan tanpa sebab kenapa saya memulai ini. Salah satunya budaya dimana anak
yang sudah SMP atau SMA sudah tidak lagi mengaji di TPQ. Maka kegiatan ini saya
niatkan sebagai wadah bagi mereka yang harusnya masih mengaji tetapi terhenti.
Materi pengajaran di TPQ juga masih berfokus pada bacaan Al-Qur’an dan belum menyinggung
masalah fiqih. Padahal perihal sholat dan hukum-hukum lain menjadi hal yang
penting karena bersinggungan setiap hari. Alasan ini yang membuat kenapa saya
memilih Fasolatan.
Dalam
mengawali pun saya tidak serta merta tanpa memberi tahu orang tua atau kesepuhan
desa. Ada Bapak Wahidin, Bapak Nur Ikhsan dan Bapak Kasto. Pada mereka saya
utarakan niat untuk melakukan tholabul ‘ilmi. Ijin yang saya lakukan ini tidak
lain untuk meminta doa restu agar kegiatan berjalan lancar dan tidak
menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.
Dan
benar bahwa ketika melakukan kebaikan maka akan ada duri yang melemahkan. Baru satu
pertemuan dan menginjak pertemuan kedua, saya sudah mendapatkan saran yang menusuk.
Ini berwal dari pertanyaan mengenai kitab apa yang saya pakai. Maka saya jawab
dengan catatan saya ketika mengaji dulu. Beliaupun menyarankan untuk
menggunakan kitab Fasholatan karya Almaghfurlah KH. Asnawi Kudus. Hanya saja
ketika saya mempertahankan pendapat untuk memakai apa yang saya pelajari,
kritik tajam saya terima. Tentu ini demi kebaikan dan saya tahu itu. Namun cara
penyampaian yang seolah menghakimi tentang asar dan laku membuat saya dilema.
Simpulan
saya, beliau meragukan apa yang saya pakai. Padahal saya juga itba’ (mengikuti)
apa yang sudah saya terima dari guru saya. Seolah itu hanya karangan saya.
Tentang
asar dan laku sehari-hari, hampir saja saya mengurungkan niat untuk belajar
bersama. Pasalnya diri ini masih banyak melakukan maksiat dan tidak pernah
melakukan riyadhoh apalagi sholat malam. Pokok ini pula yang begitu menusuk dan
memang fakta. Karena bagaimanapun kemanfaatan itu juga salah satunya berasal
dari yang mengajar. Dan saya? Masih jauh dari sempurna.
Hanya
saja jika menyerah dan berhenti, itu artinya saya membiarkan kebodohan tetap
melekat pada teman-teman saya. Ketika itu berlanjut sampai dewasa maka akan
lebih sulit lagi untuk memperbaiki.
Maka
reminder for self, terima kritik itu
dengan lapang dada. Ambil sisi baiknya dan perbaiki diri. Perihal kemanfaatan
biarlah Allah yang menentukan. Tugas kita hanya berusaha.
Pringamba,
14 Maret 2017
EmoticonEmoticon