Banyak hal
yang harus diperbaiki, begitulah simpulan saya setelah tepat satu bulan bekerja
di balai desa. Tentang pekerjaan yang belum sesuai tupoksi, dana yang terbatas
hingga kesejahteraan yang saya amati menjadi alasan untuk bekerja musiman. Bagi
saya orang awal tentu tidak terlalu mempermasalahkan karena baru memulai
belajar dan belum punya tanggungan keluarga, berbeda dengan mereka yang sudah
mempunyai keluarga bahkan cucu malah.
Tulisan ini
tidak akan menyoroti hal itu, tetapi lebih kepada masayarakat desa. Kenapa
mereka harus pintar dan sekolah tinggi? Kenapa mereka harus peduli dengan
pendidikan jika akhirnya juga bekerja di kebun?
Pertanyaan
itu terjawab dalam rentang waktu satu bulan. Inisiatif untuk membuat Komunitas
Pringamba Cerdas pun menunai jawaban dan alasan yang logis. Alasan untuk
memperjuangkan dan merealisasikan sebagai bentuk kepedulian dan sarana untuk
bermanfaat bagi masyarakat.
Beberapa
jawaban yang juga saya sebut alasan adalah :
Lahan Semakin Sempit
Ada status
facebook yang cukup menggelitik, bahwa orang tua bolehlah kaya, lahannya banyak
dan itu cukup untuk diwarisakan kepada anak-anaknya. Tetapi bagaimana kedepan
saat sang anak berumah tangga dan mempunyai anak, dan anaknya nanti juga
berkeluarga. Maka tanah-tanah warisan yang dulunya luas, pada keturunan ke-7
akan susut 360’. Masyarakat semakin bertambah, maka lahan kepemilikan semakin
sedikit.
Itu untuk
masyarakat yang kaya dan mempunyai tanah. Terus bagaimana nasib mereka yang
miskin dan tak punya harta untuk diwarisakan? Jika patokannya harta warisan,
tentu miris melihat kenyataannya nanti. Maka solusinya adalah pendidikan. Dari
pendidikan inilah seorang akan banyak belajar sebagai bekal, minimal ketika di
desa tak punya harta warisan yang luas maka dia sudah mempunyai ketrampilan
yang mampu untuk menghidupinya. Atau andai merantau, bekal ijasah akan menjadi
pertimbangan penempatan kerja tidak di bagian OB.
Tidak Mudah Tertipu
Saat ini banyak
selles yang masuk ke desa menawarkan barang dengan gaya bicara saat pemaparan
begitu memikat, sehingga masyarakat pun terlena dan akhirnya membeli.
Endingnya, beberapa orang menyesal karena telah tertipu. Kualitas barang atau
harganya ternyata jauh dari harga standar.
Pengalaman
ini terjadi belum lama, saat ada selles gas LPG promosi gas 5 kg yang membuat
kami di balai desa panik. Takutnya, terjadi penandatangan penarikan gas LPG 3
kg menjadi 5 kg misal. Padahal gas yang bersubsidi adalah yang 3 kg.
Pemberitahuan ini tentu akan efektif menggunakan hp atau di group WA sehingga
infromasi cepat sampainya. Namun karena banyak ibu-ibu yang tidak menggunakan
WA, maka harus manual dengan mendatangi langsung ke tempat kumpulan.
Tak hanya
itu, selles yang datang ternyata menawarkan pentilator dengan harga Rp.
40.000/buah. Saat dicek di internet, ternyata harganya cuma Rp. 10.000,-
Kebayangkan berapa kali lipat naiknya. Nah di zaman yang serba mudah ini, andai
masyarakatnya cerdas bisa cek harga lewat internet sebagai pembanding dan
meminimalisir penipuan.
Motivasi Sekolah yang Rendah
Semenjak
digulirkannya program wajib 9 tahun, pendidikan di Pringamba cukup mendapat
perhatian. Anak-anak yang lanjut ke jenjang ke SMP dan SMA pun meningkat
dibandingkan sebelumnya. Kuliah juga sudah banyak diminati karena kesadaran
orang tua yang sudah mulai terbangun. Maka memotivasi mereka untuk peduli
pendidikan adalah tugas yang harus di prioritaskan.
Lahan Semakin Tercemar
Petani
salak adalah mata pencaharian mayoritas masyarakat desa Pringamba. Untuk menunjang
penghasilan, petani banyak menggunakan pupuk yang mengandung pestisida. Hari ini
tenu tidak terasa dampaknya, tetapi andai itu terus-terusan dilakukan maka
lambat laun tanah yang dulunya subur akan menjadi tandus. Maka inilah
pentingnya masyarakat cerdas dan berpendidikan.
Pringamba,
5 November 2017
EmoticonEmoticon