Keluhan
akan kondisi keluarga, rintihan akan keinginannya untuk merantau dan penunjukan
sifat kecewa karena keinginannya tidak terpenuhi, sekarang menjadi teman akrab
saya di rumah. Sifat ibu yang demikian tentu membuat saya merasa kikuk sendiri. Ada perasaan tidak nyaman
jika berkutat di rumah apalagi jika tak melakukan apa-apa.
Menanggapi
hal tersebut, bapak lebih banyak diam. Meskipun tidak terdengar suaranya,
lagi-lagi saya harus merasakan kikuk
lantaran bahasa tubuh begitu jelas terbaca.
Saya
memahami kondisi psikologisnya. Umur ibu yang kini sudah 56 tahun tentu bukan
lagi usia muda ditambah “truka” yang
sejak kecil dialami sebagai seorang petani dengan kerja kasar membuatnya lelah.
Lelah pikiran dan juga fisiknya. Bahkan sampai hari ini masih “mencari rumput”
dan menggendongnya dalam jarak puluhan meter untuk pakan kambing.
Sama halnya
dengan bapak, umurnya 58 tahun sekarang. Beliau pun telah mengalami “truka”
yang hampir sama. Berusaha yang terbaik meskipun terkadang masih saja terlihat
kurang di hadapan ibu. Keduanya sama dalam kaca mata saya, tak ada salah.
Mereka sudah melakukan sebaik yang bisa dilakukan. Dan disinilah saya belajar
tentang keluarga.
“Penerimaan,
saling memahami dan mensupport, dan tentu teladan yang secara tidak langsung mereka
ajarkan kepada anaknya.”
Saya risih
sebenarnya ketika melihat hal ini. Hanya saja sebagai seorang anak saya
berharap bisa menjadi pemersatu mereka. Walaupun banyak mimpi saya yang juga masih
butuh support mereka. Tetapi baiklah, anggap saja ini sebagai media saya
belajar tentang “berkeluarga”.
“What I do
??”
Sebagai
seorang anak terakhir, tentu keadaan diatas menjadi tanggung jawab saya. Namun,
apalah daya jika kondisi saya juga baru memulai meniti karier sebagai guru, bahkan
dua bulan juga belum genap. Dan karena menjadi guru maka saya tak bisa menuntut
apapun selain berterima kasih atas kesempatan yang diberikan agar saya bisa
“menjadi pribadi yang bermanfaat”, mengabdi dan menularkan apa yang telah saya
pelajari kepada orang lain.
Pernah
terpikir untuk merantau. Hanya saja takdir telah memberikan jawaban saya untuk
masuk ke SD terlebih dahulu. Berbagai pertimbangan kegiatan pun tentu sulit aku
lakukan jika benar-benar merantau. Belum lagi kondisi kebun yang jika hanya ibu
dan bapak yang mengurus terlihat tidak maksimal, banyak bunga salak yang harus
diserbuk membusuk karera tidak terserbuk. Sehingga saat panen pun tidak
maksimal. Itu lah alasan kenapa sekarang saya lebih banyak ke kebun. Selain
untuk membantu meringankan beban bapak dan ibu, saya juga berharap bahwa hasil
panen bisa lebih baik lagi. Walhasil saya bisa menghilangkan truka yang selama
ini dialami oleh kedua orang tua saya.
![]() |
Kenangan Saat Pernikahan Mba' Nur (Dokpri : Mad Solihin) |
Selasa, 28
Februari 2017 02:16 WIB
4 komentar
Write komentarSesungguhnya, dengan merantau juga bisa menjadi penyambung hidup yang lebih mendamaikan. Makanya, kebanyakan orang di Jawa yang cukup umur biasanya lebih memilih untuk melihat dunia lebih luas. :D
ReplyHehe ...iya si mas, pernah ada keinginan di Jambi ikut mba' q yg ada di sana ... Cuma blum tahu ... Sekalian ingin jelajah Indonesia ..😁
Replysebagai anak terakhir memang dilematis ya mas, tapi mau gimana lagi, kadang ortu juga ingin di masa2 senjanya bisa minimal ada satu anaknya yang menemaninya menjalani hari2 penuh makna, salam kenal mas : ) pengin deh main ke kebun salaknya hehehe
ReplyEmang udah jatahnya ngerwat orang tua .. Hee
ReplyBoleh mas, kapan2 main aja 😁
EmoticonEmoticon