Mengajukan lamaran di SDN 1
Pringamba, kembali ke almamater pertama. Itulah keputusan yang akhirnya saya
ambil. Setelah berdiskusi dan meminta saran dari kedua orang tua bapak dan ibu, teman seangkatan yang sudah
lebih dulu terjun mengajar di SD dan mempertimbangkan beberapa alasan, maka
saya mencoba untuk memantapkan diri memasuki dunia pendidikan sesuai yang saya
geluti di kampus, yaitu menjadi guru. Walaupun sangsi sebenarnya karena tidak
sesuai dengan ekspetasi saya yang selalu mengatakan bahwa saya tidak ingin
langsung terjun menjadi guru setelah lulus, tetapi ingin menjadi seorang
jurnalis. Atau kalaupun menjadi guru, saya ingin memperdalam pengalaman terlebih
dahulu sehingga ketika seorang murid bertemu dengan saya, mereka menjadi
terinspirasi.
But, sametimes the samething what we
will not happen. So, what? Haruskah saya tetap berdiam diri di rumah? Ah,
pertanyaan dan permintaan dari ibu agar saya segera untuk melamar pekerjaan membuat
telinga saya tidak nyaman. Sehingga mau tidak mau saya harus menghindari
pertanyaan itu yang salah satu caranya adalah mengikuti kemauannya, mencoba
mendaftar di SD. Gayung bersambut, Pak Marjono selaku Kepala Sekolah yang pada Kamis
(8/12) lalu saya temui di sekolah memberikan saya kesempatan untuk wiyata di
sana. Hanya saja karena statusnya wiyata maka saya pun tidak bisa menuntut
apapun termasuk dalam hal gaji.
Galau, begitulah renspon saya
mendengar penjelasan dari kepala sekolah yang aslinya Bawang itu. Bagaimana
tidak, sebagai anak muda yang keinginannya sedang berapi-api lalu bekerja
dengan hasil yang tidak bisa diprediksi tentu harus berpikir ulang. Hanya saja,
kepasrahan dari orang tua yang menyerahkan sepenuhnya keputusan untuk diambil
atau tidak itu terserah saya, maka ada kelegaan tersendiri. Setidaknya saya
tidak terlalu mempunyai beban moral karena tuntutan gaji. Toh baru awal,
bukankah untuk mencapai puncak harus dimulai dari tangga terbawah?
Mengajar di SD, sebuah pelarian atas
tuntutan saya sebagai seorang Sarjana? Pelarian atas tuntutan masyarakat yang
mengharuskan mereka yang berpendidikan tinggi wajib bekerja? Tentu saja tidak. Di
relung hati terdalam saya pun sudah lama memendam untuk bisa berbaur di
sekolah. Ada keprihatinan tersendiri melihat guru-guru yang mengajar semua dari
orang luar, tidak ada satu guru pun yang aslinya Pringmba. Keprihatinan itulah
yang membuat saya merasa terpanggil untuk berjuang di tanah kelahiran karena
bagaimana pun orang luar hanya membersamai ketika di sekolah. Semoga saja
nantinya saya bisa mewarnai kehidupan para tunas yang akan menjadi ujung tombak
kemajuan Desa Pringamba 10-20 tahun kedepan. Semoga.
Pringamba, 12 Desember 2016
NB : Untuk pertama kalinya saya benar-benar merasakan atmosfir melamar
pekerjaan. Walaupun sebelumnya sudah beberapa kali membuat surat lamaran
pekerjaan namun rasanya baru kali ini saya menganggapnya serius.
![]() |
Foto Waktu Kelas VI SD Tahun 2006 |
1 komentar:
Write komentartetap semangat, mas...mumpung masih fresh dan ilmunya tentu masih padet, yakinlah akan sebuah kesuksesan di depan sana tapi memang harus dimulai dari level demi level
ReplyEmoticonEmoticon